Thursday, February 23, 2017

Kecelakaan pesawat saudia Arabia dengan Air Kazakhstan Penerbangan 1907

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Maraknya berbagai kejadian kecelakaan belakangan ini yang melibatkan  moda transportasi darat, laut dan udara telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Fakta menunjukkan, kejadian kecelakaan hampir merata terjadi pada setiap moda transportasi. Pada moda transportasi udara, kejadian kecelakaan pesawat yang menewaskan banyak korban seolah terus berulang. Kecelakaan sangat fatal yang terjadi awal Januari 2007, yaitu hilangnya pesawat Boeing 737 – 400 milik Adam Air ketika memasuki wilayah Sulawesi Barat, seharusnya menjadi kecelakaan terakhir. Namun ternyata tanggal 7 Maret 2007 terjadi kecelakaan lagi di bandara Adi Sutjipto Yogyakarta. Kali ini menimpa pesawat Garuda yang membawa 140 orang penumpang. Dalam kejadian itu, 117 orang selamat sedangkan yang lain tewas. Salah seorang yang tewas adalah mantan Rektor UGM Profesor Koesnadi Hardjasoemantri. Kejadian ini makin menambah jumlah kejadian kecelakaan pesawat, yang menurut data Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), sejak 2001, tercatat 73 kecelakaan pesawat penerbangan nasional dalam negeri, dengan jumlah korban 479 orang, meliputi 201 orang tewas dan 278 cedera.

Pada moda transportasi laut, tenggelamnya kapal laut sudah beberapa kali terjadi. Akhir tahun 2006, kapal feri Senopati Nusantara yang berlayar dari Kalimantan Tengah ke Semarang tenggelam di lepas pantai Pulau Jawa karena cuaca buruk. Dari sekitar 800 orang penumpang, 66 jenazah telah ditemukan, 200 orang berhasil diselamatkan sedangkan lebih dari 400 orang masih dinyatakan hilang (www.voanews.com, 31 Desember 2006). Bahkan kejadian yang terakhir, tenggelamnya Kapal Motor (KM) Levina, selain membawa korban jiwa penumpang, juga membawa korban wartawan yang sedang meliput bangkai kapal

Sedangkan pada moda transportasi darat, kecelakaan kereta api menyedot perhatian utama. Dalam kurun waktu 2000 – 2005, tercatat 937 kecelakaan kereta api, dengan jenis kecelakaan meliputi anjlok / terguling 421 kejadian, kondisi perlintasan longsor / kena banjir 46 kejadian, tabrakan dengan kendaraan lain 205 kejadian, tabrakan dengan kereta api lain 42 kecelakaan dan lain – lain 223 kejadian. Fenomena – fenomena tersebut seolah hendak mengatakan bahwa tidak ada moda transportasi yang aman digunakan untuk bepergian bagi masyarakat yang membutuhkan.

Transportasi yang paling cepat, aman, dan nyaman adalah menggunakan pesawat. Karena dengan pesawat orang akan lebih mudah sampai tujuan. Jarak antar kota bahkan antar negara terasa menjadi dekat. Hanya beberapa jam saja antar negara bahkan antar benua dapat dicapai dengan mudah.

Namun, dengan adanya kecelakaan pesawat Malaysia Airlines MH370 pada 8 Maret 2014 membuat dunia penerbangan berduka. Setidaknya orang yang akan menggunakan jasa burung besi ini berpikir dua kali untuk melakukan penerbangan. Ini bisa dipahami karena pesawat yang membawa 227 penumpang dan 12 kru itu sampai saat ini belum bisa ditemukan, meskipun pihak otoritas Malaysia menyatakan pesawat berakhir di Samudra Hindia.

Sebenarnya tidak hanya MH370 saja yang mengalami kecelakaan yang tragis. Masih ada kecelakaan pesawat yang lain lebih tragis dari itu. Bedanya jika MH370 belum bisa ditemukan, daftar kecelakaan pesawat berikut ini diketahui namun memakan korban meninggal banyak. Korban meninggal lebih besar dari MH370.

1.2. Rumusan masalah

Hal-hal yang di uraikan dalam makalah ini adalah tentang

1.2.1. Saat saat Kecelakaan pesawat
1.2.2. Penyebab kecelakaan menurut pala ahli

1.3. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai adalah:

1.3.1. Dengan memperlajari apa saja penyebab-penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang

1.3.2. Dengan memiliki rasa tanggung jawab untuk menjalankan semua prosedur sesuai dengan SOPStandar Prosedur Operasional yang berlaku maka akan kecelakaan bisa terhindari

1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana cara penanganan jika terjadi kecelakaan pesawat Terbang.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Saat-saat terjadi Kecelakaan pesawat saudia Arabia dengan Air Kazakhstan Penerbangan 1907

Saudi Arabian Airlines Penerbangan 763 merupakan sebuah pesawat Boeing 747- November 1996. Pesawat ini mengalami kecelakaan terburuk dalam dunia penerbangan karena bertabrakan di udara dengan Air Kazakhstan Penerbangan 1907 yang pada saat yang sama menerbangi rute Shymkent, Kazakhstan menuju Delhi, India.

Dalam penerbangan Saudi 763, pilot pesawat bernama Khalid AlShubaily. Kopilot pesawat yang bernama Nazir Khan melakukan komunikasi radio dengan salah satu petugas kendali di Delhi, bernama VK Dutta. Dan ahli mesin (enginner) pesawat Saudi 763 bernama Evris. Sedangkan pada penerbangan Kazakh 1907, pilot bernama Gennadi Cherepanov, dan operator radio pesawat Kazakh 1907 bernama Egor Repp.

Kecelakaan tersebut menewaskan seluruh penumpangnya yang berjumlah 316 penumpang dan 33 awak. Totalnya adalah 349 orang. Egor Repp melakukan kesalahan dalam mengukur ketinggian. Kazakh 1907 seharusnya ada di level ketinggian 150 dan Saudi 763 ada di level ketinggian 140. Saat Repp menyadari bahwa pesawatnya terbang terlalu rendah, dia berkata pada Kapten Gennadi Cherepanov. "Jaga ketinggian 150. Jangan turun!" katanya. "Berapa ketinggian yang diperintahkan?" tanya Kapten Cherepanov begitu dia bereaksi dan bingung. Kemudian, Kapten Cherepanov memerintahkan kepada co-pilot untuk menambah kecepatan.

Kazakh 1907 langsung memacu dirinya untuk terbang menuju Saudi 763. Kemudian, Repp berkata, "Naik ke 150, karena di 140 ada ... yang itu!" Egor Repp berkata "Yang itu!" saat pesawat Saudi terbang di atasnya, dan muncul di pandangan kru Kazakh 1907. Sayap kiri pesawat Saudi 763 dirobek ekor pesawat Kazakh 1907, dan stabilizer horizontal kirinya juga. 5,5 meter bagian itu terkoyak, dan tanpa itu, kru Saudi 763 tidak bisa mengendalikan pesawat. Pilot pesawat kargo Angkatan Udara AS, Kapten Timothy J. Place adalah saksi mata kecelakaan itu. "Awan memerah, seakan-akan bisa dirasakan panasnya," katanya ketika diwawancara oleh 'Air Crash Investigation'.

Hari awal penyelidikan, kotak hitam (black box) pesawat Saudi 763 dan Kazakh 1907 ditemukan. Penyelidik membuat perkiraan penyebab kecelakaan : VK Dutta (petugas menara kendali Suar/ATC) berbuat kesalahan, kesalahan salah satu kru pesawat, atau kegagalan instrumen salah satu pesawat. Sebelum mengetahui penyebab kecelakaan, mereka harus melihat data-data yang ada pada FDR dan CVR kedua pesawat.

Sementara itu, kotak hitam pesawat Saudi dianalisa di Inggris. Kru pesawat Saudi terbang secara teratur pada ketinggian yang ditentukan Dutta, yaitu level 140 (4.300 m). Akan tetapi, kru pesawat Kazakh tidak terbang teratur. Dutta ingin pesawat yang berangkat dari Bandara Indira Gandhi ada di bawah pesawat yang mendatangi Bandara Indira Gandhi. Namun, pesawat Kazakh 1907 berada di level terbang 4.299 m, 300 m lebih rendah dari ketinggian yang ditentukan, dan 3 meter lebih rendah dari pesawat Saudi 763.

2.2 Penyebab Kecelakaan Menurut Para Penyelidik

Para penyidik menyalahkan tata letak kokpit pesawat Ilyushin Il-76. Pengukur ketinggian terpasang di depan tempat duduk pilot. Namun, tidak ada pengukur ketinggian di depan tempat duduk operator radio Egor Repp. "Mungkin saja, pilotnya terlalu memanfaatkan operator radionya mengenai informasi apapun yang diberitahukan oleh petugas darat." kata Kapten Ashok Verma.

Dan mungkinkah penggunaan bahasa yang terbatas menyebabkan kecelakaan mematikan ini? "Kru pesawat Kazakh berasal dari Uni Soviet. Mereka lulus dalam penggunaan Bahasa Inggris, namun tidak cakap dalam penggunaan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari." ujar Kapten Ashok Verma mengenai pertanyaan ini.

Yang lain lagi adalah terbatasnya koridor yang ada di Bandara Indira Gandhi. Wilayah yang ditangani oleh Dutta sebagian besar merupakan pesawat militer. Bahkan, di bandara sesibuk ini, hanya ada satu koridor utama untuk pesawat komersil. Dan pada akhirnya, koridor untuk pesawat komersil ditambah. Tidak ada lagi kecelakaan maut di bandara itu lagi.

Pada hari Selasa, tanggal 12 November 1996, sebuah Boeing Arab Saudi 747 lepas landas dari Bandar Udara Indira Gandhi di New Delhi, India. Pesawat ini memuat sebanyak lebih dari tiga ratus penumpang yang pergi ke Arab Saudi untuk berziarah ke tanah suci Islam, atau untuk bekerja di tanah suci.

Pesawat Saudi lepas landas menjelang sore dan memperoleh instruksi dari pengontrol lalu lintas udara agar menambah ketinggian hingga lima belas ribu kaki (4500 m). Pada saat pesawat Arab Saudi ini sedang naik, sebuah pesawat pengangkut Kazakstan yang membawa tiga puluh tujuh penumpang dan awak kapalnya, sedang mendekati bandar udara dan memperoleh instruksi untuk turun hingga  ketinggian empat belas ribu kaki (4260 m)

Standar jarak antarpesawat bagi penerbangan ini memang berlaku secara umum di seluruh dunia: seribu kaki (300 m) vertikal, dan lima mil (8 km) jarak antarpesawat. Pesawat Arab Saudi dan Kazakstan telah berada dalam ketentuan jarak vertikal--nyaris memenuhi ketentuan--tetapi, perlengkapan di Bandar Udara Indira Gandhi tidak mampu memberi informasi kepada si operator bahwa kedua pesawat ini berada dalam jalur lintasan yang sama, dan tepat menuju ke arah satu sama lain. Perlengkapan radar yang digunakan oleh menara telah ketinggalan zaman dan tidak mencakup sebuah transponder yang bisa menyampaikan informasi yang penting ini pada operator.

Seorang pejabat resmi India yang dikutip dalam CNN.com (yang tidak mau disebut namanya) mengatakan, "Lebih baik jika memiliki sebuah transponder. Jika dua pesawat saling mendekat satu sama lain, maka hal ini tidak bisa ditangkap melalui radar tradisional."

Pada saat terjadinya kecelakaan ini, perusahaan Amerika, Raytheon, sedang memasang perlengkapan radar yang baru di Bandar Udara Indira Gandhi, yang menjadikan operator lalu lintas udara mengetahui ketinggian masing-masing pesawat yang saling melintas satu sama lain. Namun demikian, saat terjadinya tabrakan, Amerika Serikat belum mengesahkan penggunaan sistem ini, sehingga seluruh komunikasi dan instruksi bergantung pada perlengkapan yang digunakan pada saat itu.

Setelah tabrakan, pemerintah India mengatakan bahwa meski perlengkapan baru belum berfungsi, tetapi perlengkapan yang ada layak dan berada dalam kondisi baik. Pemerintah India menyalahkan pilot--terutama pilot Uni Soviet--atas kecelakaan ini. Terjadi pembicaraan bahwa pilot Uni Soviat tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik, dan karena bahasa Inggris adalah bahasa resmi lalu lintas udara bagi pilot/operator di seluruh dunia, maka masalah komunikasi semestinya memang turut menyebabkan tragedi ini. Maskapai  penerbangan Kazakstan menanggapi pernyataan ini dengan tegang dan berusaha meyakinkan dunia bahwa pilotnya berkualifikasi penuh dan menguasai bahasa Inggris dengan baik.

Dalam jangka waktu enam bulan dari tahun 1994 hingga tahun 1995, langit India mengalami kasus hampir terjadi tabrakan di udara sebanyak tiga kali. Indian Commercial Pilot's Association menyelidiki kasus ini dan menyatakan bahwa kesalahan terletak pada perlengkapan lalu lintas udara yang telah ketinggalan zaman dan tidak memadai. Di CNN.com, telah dilaporkan bahwa "asosiasi 'pilot' telah merekomendasikan sistem radar berteknologi mutakhir, seperti transponder, perlengkapan komunikasi VHF, dan perlengkapan CAT II, untuk membantu pendaratan. Namun, pemerintah India belum memenuhinya, kata kelompok ini. Menteri Penerbangan Sipil India, C. M. Ibrahim menyangkal bahwa sistem pengendali lalu lintas udara India telah ketinggalan zaman. Masalah lain yang juga diangkat adalah fakta bahwa semua pesawat yang dibuat oelh Rusia menggunakan satuan ukuran metrik; pesawat yang dibuat oleh Barat menggunakan satuan ukuran kaki. Hal ini mengabaikan pertanyaan seperti, mengapa tidak ada standar bagi hal yang sama-sama penting, seperti persyaratan penggunaan bahasa Inggris.

Pesawat Arab Saudi dengan 312 penumpangnya baru terbang selama tujuh menit saat tabrakan dengan pesawat pengangkut Kazakstan yang memuat 37 orang. Penyelidikan telah mengungkap bahwa pilot Arab Saudi selamat dalam tabrakan awal dan entah bagaimana berhasil mengendalikan pesawat yang menukik tajam ini. Terdapat bukti bahwa ia sengaja mengarahkan pesawat ini menjauh dari desa, mendaratkannya di sebuah lapangan kosong. "Ini adalah tindakan yang mulia dari pilot, memastikan supaya para penduduk desa tidak terluka," kata Ram Gupta, seorang pengacara dari Charki Dadri yang menyaksikan kecelakaan ini. 

Reruntuhan pesawat, mayat manusia, muatan, dan barang-barang milik penumpang dari kedua pesawat ini terhampar pada wilayah seluas enam mil (9,5 km).Pesawat Arab Saudi telah menciptakan parit sepanjang 180 kaki (55 m) dan sedalam 15 kaki(4,5 m) di tanah pertanian India. Terdapat bagian tubuh yang terpotong-potong dan tersebar di seluruh lapangan, di tanah yang belum ditanami, tetapi biasanya digunakan untuk ternak ayam. Kedua pesawat ini mendarat dengan jarak tujuh mil (11km) satu sama lain, dan tak seorang pun di darat yang terluka pada tabrakan udara terburuk dalam sejarah ini.

Seorang pilot angkatan udara Amerika Serikat yang berusia tiga puluh thaun, yang mengangkut perbekalan bagi kedutaan Amerika Serikat di New Delhi telah menyaksikan tabrakan ini dari ketinggian dua puluh ribu kaki (6096 m). "kami menyaksikan dari sisi kanan pesawat," paparnya kepada Washington Post, "sebuah awan besar menyala dengan kilauan oranye di dalamnya. Intensitas kilauan awan ini menjadi redup, kemudian dua bola api jatuh dan menjadi bola api di daratann."

S. S. Sidhu, seorang mantan sekretaris jenderal International Civil Aviation Organization berkata kepada CNN, "secara internasional, 75 persen penyebab kecelakaan udara adalaah kesalahan manusia. Tidak berfungsinya sistem mekanis hanya menyebabkan kecelakaan sebesar 25 persen."

2.3 Kendala Bahasa Dapat Menjadi Bencana

Mereka yang berkecimpung dalam dunia aviasi terutama para penerbang dan petugas menara ATC diharuskan mempelajari dasar-dasar Bahasa Inggris, terutama frasalogi, agar dapat berkomunikasi dengan efektif dan tepat. Hal itu juga sangat membantu mereka berjibaku dengan manual, dokumentasi pesawat terbang, regulasi, dan yang lainnya. Namun penggunaan Bahasa Inggris kerap menjadi kendala di dunia aviasi terutama bagi mereka yang bukan berasal dari negara dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama, yang digunakan dalam keseharian. Seiring pertumbuhan lalu-lintas udara, komunikasi antara pilot dan ATC melalui transmisi radio makin menyisakan ruang bagi masalah dalam apek ini. 

Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa resmi dunia penerbangan melalui kesepakatan konvensi bersejarah saat Perang Dunia II berkecamuk, The Chicago Convention, pada tanggal 1 November 1944. Melalui inisiatif Inggris, pemerintah AS mengundang 55 negara sekutu dan negara netral (dalam perspektif Perang Dunia II) untuk datang ke Chicago dalam merumuskan sejumlah standarisasi dalam dunia penerbangan sipil. Konvensi tersebut juga menjadi momen lahirnya ICAO (International Civil Aviation Organization).

Konvensi yang pada akhirnya dihadiri oleh 52 negara tersebut melihat bahasa sebagai salah satu aspek yang mendesak untuk dikaji. Akhirnya disepakatilah Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dunia penerbangan sipil berdasarkan konsekuensi logis, yaitu dikarenakan negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi seperti AS dan Inggris mendominasi rancangan, pembuatan dan pengoperasian pesawat-pesawat di dunia pada waktu itu. Hal ini juga akan menekan kesalahpahaman dan kebingungan dalam berkomunikasi dalam operasional penerbangan.

Namun pemahaman dan kemampuan dalam berbahasa Inggris yang baik pun masih menyisakan ruang bagi sejumlah masalah, yaitu perbedaan aksen. Aksen sendiri adalah karakteristik komunikasi verbal yang dipengaruhi oleh budaya dalam suatu komunitas tertentu. Inggris Raya, Australia, Amerika Utara, India dan Singapura merupakan sebagian negara yang menetapkan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, atau salah satu dari bahasa resmi mereka. Namun aksen antara satu dan lainnya sangatlah berbeda. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah masalah serius seperti kebingungan dan kegagalan komunikasi dalam operasional penerbangan, yang tak jarang berakibat fatal.

Salah satu contohnya adalah peristiwa jatuhnya sebuah pesawat kargo Boeing 747-200 milik FedEx yang beroperasi menggunakan nama Flying Tiger Flight 66 dari Singapura ke Kuala Lumpur pada tanggal 19 Februari, 1989. ATC menginstruksikan pilot untuk menurunkan ketinggian dengan mengatakan “descend two four zero zero”, namun pilot memahaminya berbeda dan membalas dengan “OK, four zero zero”. Petugas di menara kendali tidak menyadari kesalahan komunikasi tersebut karena petugas menara kendali tidak menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama keseharian, menurut laporan resmi penyelidikan oleh pihak berwenang. Dalam percakapan tersebut, “two” di artikan sebagai “to” (menuju/ke). Seluruh empat awak pesawat meninggal dunia. Kecelakaan ini menjadi sebab digunakannya fiturescape maneuver pada sistem Ground Proxomity Warning System (GPWS).

Salah satunya adalah tragedi terburuk dalam sejarah penerbangan di mana dua pesawat bertabrakan di landasan pacu pada tanggal 27 Maret 1977 yang melibatkan pesawat Pan Am Flight 1736 dan KLM Flight 4805 di Tenerife – Spanyol. Para pihak terlibat dalam kecelakaan yang menelan 583 jiwa tersebut sebenarnya menguasai Bahasa Inggris dengan baik, termasuk pilot yang berasal dari Belanda (KLM) dan petugas ATC dari Spanyol. Namun Bahasa Inggris bukanlah bahasa utama keduanya sehingga kesalahpahaman dan asumsi yang salah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan selain dari beberapa faktor lainnya.

Dalam peristiwa tersebut, Captain pilot dari KLM 4805 dan petugas ATC memahami frasa “takeoff” dengan maksud yang berbeda. Berdasarkan cockpit voice recorder, Captain KLM berasumsi dirinya telah diizinkan untuk takeoff, sementara petugas menara kendali Tenerife bermaksud meminta pesawat tersebut untuk menunggu izin lepas landas. Dari situlah instruksi “takeoff” pada saat ini hanya boleh digunakan ketika pesawat benar-benar aman untuk lepas landas.

Tak ubahnya seperti insiden jatuhnya pesawat Boeing 707-321B Avianca Flight 52 di New York pada bulan Januari 1990. Saat itu cuaca berkabut dan Avianca Flight 52 diharuskan melakukan hold pattern selama satu jam karena jarak pandang yang minim di atas New York. Kemudian pilot Avianca Flight 52 memberitahu menara kendali di JFK International bahwa mereka membutuhkan “prioritas untuk mendarat” (priority landing). Namun petugas ATC tidak menangkap urgensi terminologi “priority landing” yang digunakan. Akhirnya pesawat kehabisan bahan bakar dan jatuh di sebuah desa bernama Cove Neck di Long Island, New York.

Pihak otoritas kemudian melaporkan bahwa salah satu faktor penyebab peristiwa di atas adalah penggunaan terminologi yang salah. Terminologi yang lebih tepat untuk digunakan bagi pilot Avianca Flight 52 seharusnya adalah “May Day”, “Pan Pan Pan”, dan “Emergency”. Menurut National Transportation Safety Board, para pilot dengan keterbatasan perbehendaraan kata dalam Bahasa Inggris cenderung menggunakan “vocabulary” yang mereka ketahui.

Enam tahun kemudian, sebuah Boeing 747 milik Saudi Arabian Airlines dan sebuah Ilyushin I-76 milik Kazakhstan Airline bertabrakan di udara pada tanggal 12 November 1996 di India. 349 jiwa meninggal dunia dalam peristiwa mid-air collision terburuk sepanjang sejarah tersebut. Berdasarkan laporan penyelidikan pihak otoritas India, penyebab utama dari tabrakan tersebut adalah kesalahan awak Kazakhstan Airlines Flight 1907 dalam mengikuti instruksi ATC selain dari terbatasnya kemampuan awak Kazakhstan Airlines dalam berbahasa Inggris sehingga berbuntut kesalahan dalam menegksekusi prosedur operasional.

Paska tragedi tersebut, ICAO menyusun program PRICESG, Proficiency Requirements in Common English Study Group, yang melibatkan pilot, petugas menara kendali, dan para praktisi keselamatan dalam dunia penerbangan. Standar yang dibentuk ICAO ini efektik diaplikasikan pada bulan Maret 2008.

Tipe-tipe komunikasi dalam dunia penerbangan meliputi komunikasi verbal antar sesama awak pesawat, bahasa tubuh, komunikasi tertulis (manual, SOP, checklist), grafik, dan komunikasi antara sistem komputer dan pesawat, terutama di pesawat-pesawat modern. Adapun kendala komunikasi yang mungkin ditemukan adalah, pemahaman konteks, jarak, gangguan pendengaran/pengelihatan/berbicara, kelelahan dan faktor fisik lainnya. Selain itu, kendala semantik yang mungkin terjadi adalah aksen, idiom, ambiguitas, nada suara dan istilah teknis.

BAB III

PENUTUP

3.1     SIMPULAN

Meski ada penurunan jumlah kejadian, kecelakaan lalu lintas di jalan raya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir masih memprihatinkan. Jumlah kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang berakibat fatal di Indonesia berkisar di atas 40.000, dengan korban meninggal berkisar di atas 10.000 orang. Hal ini menunjukkan sekurang – kurangnya 30 jiwa melayang setiap harinya di jalan raya, Untuk itu diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengetahui jumlah kecelakaan lalu lintas dan korban kecelakaan yang mendekati jumlah kenyataan yang terjadi, karena kecilnya angka kecelakaan yang ada serta penurunan jumlah kejadian kecelakaan menyebabkan pemerintah tidak menganggap masalah keselamatan lalu lintas sebagai bagian dari agenda nasional.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingginya angka kecelakaan. Salah satu faktor yang penting adalah kondisi lalu lintas, dimana kondisi lalu lintas merupakan akumulasi interaksi dari berbagai karakteristik pengemudi, kendaraan, prasarana jalan maupun karakteristik lingkungan.

3.2.      SARAN

3.2.1. Meningkatkan kapasitas sistem pemandu lalu lintas udara. Salah satunya adalah dengan melakukan pemasangan peralatan radar, sehingga dalam pelayanan lalu lintas udara menggunakan prosedur radar.

3.2.2. Perlunya peningkatan keakuratan kerja petugas ATC sebelum bekerja agar tidak terjadi kelalaian ataupun miss communication terhadap pilot. Mungkin petugas ATC harus lebih jeli dalam hal pembuktian siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat yang terjadi, apakah benar dari pihak maskapai itu sendiri, atau dari pihak petugas ATCnya, atau mungkin dari pilot yang lalai. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pihak- pihak yang telah lalai sehingga dapat mengurangi jumlah kecelakaan pesawat yang terjadi. Apabila petugas ATC melakukan kelalaian dalam pekerjaannya, maka petugas tersebut haruslah bertanggung jawab atas kelalaiannya.

3.2.3. Menambah lagi fasilitas navigasi udara untuk penyebaran informasi cuaca, untuk pengiriman sinyal, untuk radio penentu arah, atau radio pada komunikasi bukan elektris, dan setiap struktur atau mekanisme lain yang mempunyai peran sejenis sebagai petunjuk atau pemanduan bagi penerbangan di udara, atau bagi pesawat udara yang sedang mendarat atau lepas landas. Ini merupakan hal yang sangat penting bagi ATC untuk diinformasikan terhadap pilot.

DAFTAR PUSTAKA

http://kumpulankaryasiswa.wordpress.com/2011/12/23/peningkatan-keakuratan-kinerja-atc-dalam-menganalisis-kecelakaan-pesawat-udara-part-6/

runway-aviation.com/?p=10210

http://id.wikipedia.org/wiki/Insiden_Saudi_Arabian_Airlines_Penerbangan_763_dengan_Air_Kazakhstan_Penerbangan_1907

http://aviasi13.blogspot.co.id/2014/09/kecelakaan-pesawat-saudia-arabia-dengan.html?m=1