Monday, April 15, 2019

Karya Tulis Ilmiah: Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610 di Tanjung Karawang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Maraknya berbagai kejadian kecelakaan belakangan ini yang melibatkan  moda transportasi darat, laut dan udara telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Fakta menunjukkan, kejadian kecelakaan hampir merata terjadi pada setiap moda transportasi. Pada moda transportasi udara, kejadian kecelakaan pesawat yang menewaskan banyak korban seolah terus berulang. Kecelakaan sangat fatal yang terjadi Awal Maret 2013, yaitu hilangnya pesawat Boeing 777-200LR milik Malaysian Airlines MH370 ketika memasuki wilayah Laut Cina Selatan, seharusnya menjadi kecelakaan terakhir. Namun ternyata tanggal 28 Desember 2014 terjadi kecelakaan lagi di Daerah Selat Karimata. Kali ini menimpa pesawat Air Asia QZ8501 yang membawa 150 orang penumpang. Dalam kejadian itu, Seluruh Penumpang dinyatakan tewas. 41 Orang yang tewas adalah mantan Jemaat Gereja besar yang ada di Kota Surabaya. Kejadian ini makin menambah jumlah kejadian kecelakaan pesawat, yang menurut data Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), sejak 2001, tercatat 73 kecelakaan pesawat penerbangan nasional dalam negeri, dengan jumlah korban 479 orang, meliputi 201 orang tewas dan 278 cedera.
Pada moda transportasi laut, tenggelamnya kapal laut sudah beberapa kali terjadi. 22 November 2009, kapal Ferry Dumai Express 10 yang berlayar dari Batam ke Dumai tenggelam di dekat Tanjung Balai Karimun karena cuaca buruk. Dari sekitar 300 orang penumpang,  29 jenazah telah ditemukan, 275 orang berhasil diselamatkan sedangkan lebih dari 15 orang masih dinyatakan hilang (www.voanews.com, 22 November 2009). Bahkan kejadian yang terakhir, tenggelamnya Kapal Motor (KM) Levina, selain membawa korban jiwa penumpang, juga membawa korban wartawan yang sedang meliput bangkai kapal
Sedangkan pada moda transportasi darat, kecelakaan kereta api menyedot perhatian utama. Dalam kurun waktu 2000 – 2005, tercatat 937 kecelakaan kereta api, dengan jenis kecelakaan meliputi anjlok / terguling 421 kejadian, kondisi perlintasan longsor / kena banjir 46 kejadian, tabrakan dengan kendaraan lain 205 kejadian, tabrakan dengan kereta api lain 42 kecelakaan dan lain – lain 223 kejadian. Fenomena – fenomena tersebut seolah hendak mengatakan bahwa tidak ada moda transportasi yang aman digunakan untuk bepergian bagi masyarakat yang membutuhkan.
Transportasi yang paling cepat, aman, dan nyaman adalah menggunakan pesawat. Karena dengan pesawat orang akan lebih mudah sampai tujuan. Jarak antar kota bahkan antar negara terasa menjadi dekat. Hanya beberapa jam saja antar negara bahkan antar benua dapat dicapai dengan mudah.
Namun, dengan adanya kecelakaan pesawat Malaysian Airlines MH370 pada 8 Maret 2013 membuat dunia penerbangan berduka. Setidaknya orang yang akan menggunakan jasa burung besi ini berpikir dua kali untuk melakukan penerbangan. Ini bisa dipahami karena pesawat yang membawa 225 penumpang dan 16 kru itu sampai saat ini belum bisa ditemukan, meskipun pihak otoritas Malaysia menyatakan pesawat berakhir di Samudra Hindia.
Sebenarnya tidak hanya MH370 saja yang mengalami kecelakaan yang tragis. Yaitu Penerbangan Pesawat Lion Air JT610 Relasi Jakarta - Pangkal Pinang di Tanjung Karawang, kecelakaan ini akan saya angkat kedalam proposal penelitian saya.

1.2. Rumusan Masalah
Hal-hal yang di uraikan dalam Proposal ini adalah tentang:
1.2.1. Saat saat Kecelakaan pesawat.
1.2.2. Tanggapan pemerintah setempat setelah kecelakaan pesawat terjadi.
1.2.3. Kecelakaan Pesawat Menurut Para Ahli
1.2.4. Mengetahui Standar Keamanan yang berada di Pesawat Jenis B737-Max8

1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai adalah:
1.3.1. Dengan memperlajari apa saja penyebab-penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang
1.3.2. Dengan memiliki rasa tanggung jawab untuk menjalankan semua prosedur sesuai dengan SOP Atau Standar Prosedur Operasional yang berlaku maka akan kecelakaan bisa terhindari
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana cara penanganan jika terjadi kecelakaan pesawat Terbang.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Saat-saat terjadi Kecelakaan pesawat Lion Air JT610.

Lion Air JT610 merupakan sebuah pesawat Boeing 737-Max8. Pesawat ini mengalami kecelakaan terburuk dalam Maskapai Lion Air karena Menelan Korban lebih banyak daripada sebelumnya saat menerbangi rute Soekarno Hatta, Jakarta menuju Bandar Udara Depati Amir Pangkal Pinang.
Pesawat lepas landas dari Jakarta pukul 06:20 WIB (23:20 UTC) dan dijadwalkan tiba di Bandar Udara Depati Amir di Pangkal Pinang pukul 07:20. Pesawat terbang ke arah barat sebelum berbelok ke timur laut, lalu jatuh di lepas pantai sekitar pukul 06:33 di sebelah timur laut Jakarta di perairan berkedalaman 35 meter. Pesawat mencapai ketinggian maksimum 5000 kaki (1500 m), kemudian naik turun beberapa kali. Data terakhir yang dipancarkan menunjukkan ketinggian 3,650 kaki (1,113 m) dengan kecepatan 345 knot (639 km/h). Menurut tim SAR Pangkal Pinang, pilot sempat meminta izin untuk terbang kembali ke Jakarta, tetapi tidak pernah tiba. Pesawat jatuh 34 mil laut (63 km) di lepas pantai Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Pesawat mengangkut 181 penumpang (178 dewasa dan 3 anak) serta 6 awak kabin dan 2 pilot. Menurut Lion Air, kapten penerbangan adalah warga negara India yang sudah bekerja di maskapai ini selama tujuh tahun dan memiliki pengalaman terbang 6.000 jam, sedangkan kopilotnya adalah warga negara Indonesia dengan pengalaman terbang 5.000 jam. Di antara para 181 penumpang pesawat terdapat dua puluh pegawai Kementerian Keuangan, tujuh anggota DPRD Bangka Belitung, dan tiga hakim pengadilan tinggi dan pengadilan negeri.

Operasi pencarian dan penyelamatan dilakukan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan(Basarnas) dibantu Angkatan Udara Republik Indonesia. Basarnas mengerahkan sekitar 150 orang menggunakan kapal dan helikopter ke lokasi kejadian. Kapal-kapal nelayan juga menanggapi laporan pesawat jatuh. Awak kapal tunda AS Jaya II melaporkan kepada petugas pelabuhan Tanjung Priok bahwa mereka melihat kecelakaan pesawat pada pukul 06:45 dan menemukan serpihan di air pukul 07:15. Serpihan yang diduga berasal dari pesawat ditemukan di dekat instalasi penyulingan lepas pantai yang tidak jauh dari lokasi kejadian. Jannatun Chintya Dewi, berhasil diidentifikasi pada 31 Oktober malam oleh DVI Polri. Dan 6 jenazah lainnya juga berhasil diidentifikasi beberapa saat kemudian. Dan saat ini sudah 125 jenazah yang berhasil diidentifikasi. Dan pencarian korban dihentikan dari tanggal 10 November 2018.

2.2. Penyebab Jatuhnya pesawat Lion Air JT610.

Hasil investigasi sementara Flight Data Recorder (FDR) black box Lion Air JT-610 menyatakan jika bagian speed indicator pesawat rusak. Namun belum diketahui pasti penyebab kerusakan komponen ini. Kepala Sub Komiter Kecelakaan Penerbangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Nurcahyo Utomo mengatakan, pesawat yang mengalami kerusakan indikator kecepatan pesawat bisa berdampak fatal. Di antaranya pilot akan kesulitan mengontrol kecepatan pesawat. Ketika kerusakan ini terjadi, lanjut Nurcahyo, kinerja mesin tidak bisa dibaca searah dengan tampilan di dalam indikator. Efeknya, mesin bisa lebih kencang dibanding kecepatan yang ada di layar indikator atau sebaliknya.

“Dampaknya (indikator kecepatan pesawat rusak, Red), normalnya pilot terbang dengan posisi tertentu timbulkan kecepatan tertentu. Dalam kasus ini mumgkin pilotnya bisa merasa kenapa kecepatan pesawat saya berbeda dari biasanya,” kata Nurcahyo di kantor KNKT, Gambir, Jakarta Pusat. Efek lainnya yang bisa dirasa dari rusaknya indikator kecepatan pesawat yaitu, pesawat bisa mengalami kondisi naik turun di ketinggian. Oleh sebab itu, saat ini KNKT tengah berupaya mengungkap penyebab kerusakan indikator kecepatan pesawat Lion Air JT-610. Biasanya ada beberapa faktor penyebabnya. Namun, jika faktor kerusakannya diakibatkan oleh sensor kecepatan tentu ini akan berbahaya. Mengingat sensor kecepatan juga digunakan untuk komponen lainnya.
Maka jika di situ persoalannya, diperkirakan bisa merusak pula ke aspek lainnya selain indikator kecepatan pesawat,” jelas dia
.
Kalau di sensor kecepatan ini juga dipakai di instrumen lain bisa kena. Mungkin jadi kesulitan pilot, sebenarnya pesawat ini (rusak) kenapa,” pungkas Nurcahyo. Sensor pesawat sendiri sangat krusial bagi keamanan sebuah penerbangan. Sebab jika pesawat terbang terlalu cepat, akibatnya bisa memicu masalah struktural pesawat. Sedangkan jika terbang terlalu lambat dapat mengakibatkan burung besi kehilangan daya angkat, dan akhirnya jatuh. sebelumnya, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Soerjanto Tjahjono mengatakan, Lion Air JT-610 dipastikan mengalami kerusakan sebelum jatuh di di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat. Kerusakan diketahui terjadi dibagian penunjuk kecepatan pesawat atau air speed indicator. Dalam FDR tersebut diketahui data yang terekam berdurasi 69 jam dengan total 19 penerbangan terakhir

2.3. Tanggapan Pemerintah setempat tentang Kecelakaan Pesawat Lion Air JT610

      Penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang masih menimbulkan tanda tanya besar pada saat itu. Pasalnya, pesawat yang jatuh di perairan Tanjung Karawang, Bekasi, Jawa Barat kemarin ini tergolong pesawat baru. Pesawat jenis Boeing 737-Max 8 ini baru dua bulan mengudara dan memiliki 800 jam penerbangan. Selain itu, Pilot dan Co-Pilot pun sudah berpengalaman dan mempunyai jam terbang yang cukup. Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo menduga ada permasalahan pada mesin, karena menurutnya walaupun tergolong baru, bukan berarti bahwa mesin tersebut tidak bisa mengalami masalah atau kerusakan. "Ada something wrong with the engine. Ini juga enginebaru. Pesawat atau mesin baru selalu ada masalah yang disebut BB sickness. Saya yakin sekali mesin dipasang di pesawat atau pesawat brand new dari boeing itu sebelumnya dilakukan penerbangan sekian ribu jam. Itu diwajibkan, sebelum dapat sertifikasi untuk diproduksi. Itu udah lewat sehingga kejadian tidak diduga bisa saja terjadi," jelasnya..
Meski begitu, sebenarnya pesawat jenis Boieng 737 Max 8 ini mempunyai riwayat atau track record yang cukup bagus. Boeing sendiri sudah menyerahkan sebanyak 130 pesawat Boeing 737 Max 8 kepada berbagai operator di dunia, salah satunya Lion Air. Namun, dari 130 pesawat tersebut, baru pesawat yang dibeli oleh Lion Air saja yang mengalami kecelakaan. Selain itu, pesawat tersebut juga memiliki berbagai kelebihan yaitu bisa menghemat bahan bakar hingga 40 persen dan mempunyai jangkauan terbang yang lebih jauh, sehingga seharusnya hambatan di udara bisa dikurangi. Dudi juga yakin bahwa pesawat tidak meledak seperti yang didengar oleh saksi mata di sekitar tempat kejadian. Menurutnya, ledakan itu terjadi karena ada tabrakan antara pesawat dengan air laut ketika jatuh ke laut. Ditambah dengan tekanan yang ada pada air laut, pesawat tersebut hancur menjadi beberapa bagian.
"Enggak meledak. Ledakan itu terjadi karena impact di atas laut, ketika pesawat jatuh impact dia pecah. Tapi saya liat impact-nya tidak menukik langsung ya. Ledakan itu bukan karena ledakan BBM atau apapun, tapi karena impact dengan air," jelasnya. Peristiwa kecelakaan ini, tentu akan mencoreng nama Indonesia di mata internasional, meski sebenarnya tidak ada kecelakaan pesawat dalam setahun belakangan ini dan sudah diperbolehkannya maskapai penerbangan Indonesia untuk terbang ke wilayah Eropa. Dampak dari kecelakaan ini pun langsung direspon oleh dunia internasional, salah satunya pihak Australia yang melarang warganya untuk terbang dengan Lion Air.

2.3. Mengapa Kecelakaan Pesawat Lion Air JT610 SEMPAT Membingungkan Para Ahli?

Cuaca di atas ibukota Indonesia, Jakarta, saat itu cerah dengan sedikit angin. Pesawat itu adalah pesawat Boeing yang baru pertama kali terbang pada bulan Agustus 2018. Namun tak lama setelah pukul 6.30 pagi hari Senin (29/10), setelah lepas landas dengan tersendat yang tidak dapat dijelaskan, Lion Air JT 610 jatuh ke Laut Jawa beserta 189 penumpang di dalamnya. Tidak ada korban selamat yang ditemukan.
Urutan yang tepat dari rangkaian peristiwa yang menambah daftar bencana penerbangan di Indonesia tersebut masih belum jelas, dan hanya dapat diketahui begitu perekam data penerbangan dipulihkan dari perairan timur laut Jakarta. Tapi kecelakaan itu terjadi di hari terang dengan cuaca cerah, dan melibatkan pesawat baru. Jadi para ahli mencari tahu untuk melihat apakah masalah mendasar, baik mekanis atau manusia atau keduanya, mungkin telah menyebabkan kecelakaan. Ini tidak tampak seperti kecelakaan yang lebih normal yang disebabkan oleh sesuatu seperti cuaca atau kondisi pesawat lama,” kata Gerry Soejatman, seorang pakar penerbangan Indonesia. “Hal itu yang membuat kami khawatir.” Salah satu teori ialah bahwa pilot menerima pembacaan ketinggian atau kecepatan yang tidak akurat dari probe yang ditempel di bagian luar pesawat, bagian dari seperangkat instrumen yang sensitif yang disebut sistem pitot-static.
Masalah dengan instrumen ini dianggap telah berkontribusi pada kecelakaan penerbangan lain. Masalah semacam itu mungkin menjadi masalah pada malam hari sebelum kecelakaan itu, ketika pesawat Lion Air yang sama mengalami masalah saat terbang ke Jakarta dari Pulau Bali. Keakuratan probe dapat terpengaruh jika mereka membeku, lembab, atau akibat adanya serangga. Pada hari Selasa (30/10) sore, para pejabat transportasi Indonesia mengakui bahwa mereka tidak berbicara dengan awak darat tentang pesawat dan masalah yang dialami setelah meninggalkan Bali.
“Kami belum mempertanyakan insinyur atau teknisi dari penerbangan hari Minggu (28/10) karena kami memiliki sumber daya manusia yang sangat terbatas,” kata Ony Soerjo Wibowo, penyelidik keselamatan udara untuk Komite Keselamatan Transportasi Indonesia, yang memimpin dalam penyelidikan kecelakaan Lion Air JT 610. Mungkin juga, kata para ahli, bahwa jenis pesawat yang terlibat dalam kecelakaan itu, Boeing 737 Max 8, yang memasuki layanan komersial hanya sekitar satu setengah tahun yang lalu, mungkin memiliki cacat lain yang belum termanifestasi dalam armada lain sebelumnya karena pesawat ini sangat baru. Namun, para pilot dan analis penerbangan memperingatkan bahwa mereka tidak pernah mendengar pembicaraan tentang masalah seperti itu yang melanda pesawat Max 8 lainnya. Jadi bisakah hal ini menjadi contoh lain dari standar keamanan dan pemeliharaan yang lemah di Indonesia?

Lion Air memiliki catatan keamanan udara yang bermasalah, dengan setidaknya 15 insiden besar. Banyaknya masalah perusahaan mencerminkan lonjakan kecelakaan yang melanda seluruh industri penerbangan Indonesia, yang menyebabkan negara-negara Barat melarang maskapai penerbangan Indonesia. Pilot-pilot yang bekerja untuk Lion Air dan maskapai pesaingnya di Indonesia mengatakan pelatihan untuk awak pesawat dan di darat terkadang tidak mengikuti perkembangan terbaru dalam pesawat baru. Dan pakar penerbangan telah mengajukan pertanyaan tentang apakah pilot seperti Bhavye Suneja, kapten Lion Air JT 610, telah mendapatkan pelatihan yang memadai dalam menerbangkan pesawat selama kondisi darurat atau dalam menangani teknologi baru seperti di Max 8.

Pesawat 737 Max adalah seri yang paling cepat terjual sepanjang sejarah, kata perusahaannya, dengan hampir 4.700 pesanan di seluruh dunia. Pihak berwenang transportasi di Indonesia mengatakan mereka telah memerintahkan pemeriksaan semua pesawat jet Max 8 yang dioperasikan oleh maskapai domestik. Pada hari Selasa (30/10), Ony, penyelidik keselamatan Indonesia, mengatakan prioritas utamanya adalah menemukan yang disebut dengan kotak hitam, perekam data penerbangan dan perekam suara kokpit, yang mungkin menawarkan informasi penting tentang apa yang terjadi di menit-menit terakhir penerbangan. Para penyelam di lokasi kejatuhan pesawat juga melanjutkan tugas suram untuk mengevakuasi puluhan sisa-sisa jenazah korban, termasuk seorang bayi yang berada dalam penerbangan. Sebuah tim pemerintah Amerika Serikat dan para penyelidik Boeing akan tiba di Indonesia pada hari Rabu (31/10) malam untuk membantu komite keselamatan Indonesia dalam penyelidikan, menurut pihak berwenang Indonesia.

Kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 terjadi beberapa menit setelah pesawat lepas landas dari Jakarta pada jam 6:21 pagi hari Senin (291/0), menuju kota kecil Pangkal Pinang di Pulau Sumatra. Sesaat sebelum pesawat itu jatuh, awak pesawat meminta izin untuk kembali ke bandara semula. Penerbangan yang dikapteni pilot Suneja, seorang warga negara India berusia 31 tahun yang telah bekerja untuk Lion Air selama tujuh tahun, kemudian jatuh lebih dari 500 kaki, membelok ke kiri dan melanjutkan naik hingga terbanting ke Laut Jawa sekitar 13 menit kemudian. Jalur penerbangan yang tidak menentu itu tampaknya mencerminkan masalah yang dialami pesawat pada hari Minggu (28/10) malam ketika terbang dari Bali, dan hal itu telah menarik perhatian kepada sistem pitot-static. Malfungsi dalam sistem itu diyakini telah berkontribusi terhadap hilangnya pesawat Air France 447 di atas Samudra Atlantik dari Brazil pada tahun 2009. Bulan Juli 2018, sebuah penerbangan Malaysia Airlines lepas landas dari Brisbane, Australia, dengan selubung masih ditempelkan ke tiga tabung pitot, menyebabkan indikasi kecepatan udara yang tidak akurat. Pesawat terpaksa untuk kembali ke Brisbane tetapi dapat mendarat dengan selamat. Direktur utama Lion Air Edward Sirait menegaskan pada hari Senin (29/10) bahwa pesawat itu mengalami semacam masalah teknis selama penerbangan pada hari Minggu (28/10), tetapi dia tidak mengatakan apa masalah sebenarnya. “Masalah dalam penerbangan bukan hal yang jarang terjadi,” kata juru bicara Lion Air Danang Mandala Prihantoro pada hari Selasa (30/10). “Kami selalu merawat pesawat dan menyelesaikan masalah sesuai prosedur, terutama jika masalah itu tentang keselamatan pesawat.”

Namun apabila pesawat memiliki masalah dengan kecepatan yang tidak akurat atau pengukuran ketinggian di sisi kapten, yang tampaknya ditunjukkan dalam log pemeliharaan yang dilihat oleh pakar penerbangan Indonesia, prosedur normal akan kembali ke bandara dari mana ia berangkat untuk pemecahan masalah segera, kata analis penerbangan. Hal itulah yang dilakukan penerbangan Malaysia Airlines pada bulan Juli 2018. Sebaliknya, penerbangan Lion Air JT 610 tetap berlanjut ke Jakarta pada hari Minggu (28/10). Alasan pesawat itu tetap melanjutkan penerbangan adalah salah satu dari banyak misteri seputar kecelakaan itu. “Saya berasumsi bahwa Lion Air telah melakukan semua yang seharusnya dilakukan untuk memastikan pesawat terjaga dengan baik sebelum mengizinkannya terbang pada hari Senin (29/10),” kata Alvin Lie, seorang analis penerbangan Indonesia. “Jika mereka tidak melakukan itu, hal itu menunjukkan kesalahan dalam pengelolaan.”

Lion Air, operator bendera Lion Air Group, mulai beroperasi pada tahun 2000 di Indonesia, sebuah negara dengan lebih dari 13.000 pulau tersebar di Khatulistiwa. Karena putus asa mencari alternatif untuk kapal feri yang berisiko terkena kecelakaan mematikan kronis, orang Indonesia berbondong-bondong memilih maskapai penerbangan terjangkau, menjadikannya Lion Air sebagai salah satu maskapai penerbangan yang tumbuh paling cepat di dunia. Tahun 2017, Lion Air Group, yang termasuk operator lain seperti Batik Air, Wings Air, dan Malindo Air, menguasai 51 persen pasar penerbangan domestik. Untuk memenuhi permintaan yang melonjak, perusahaan membeli banyak pesawat baru, menandatangani kontrak dengan Airbus dan Boeing. Namun seiring pertumbuhannya, Lion Air memiliki masalah keamanan yang signifikan. Tahun 2004, 25 orang tewas ketika penerbangan Lion Air melampaui landasan di kota Surakarta. Tahun 2013, pendaratan pilot pemula di Bali mendorong Boeing 737 baru ke laut. Tidak ada korban meninggal dalam insiden itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, jet Lion Air telah bertabrakan dengan pesawat Lion Air Group lainnya, bersama dengan seekor sapi. Beberapa pilot telah ditangkap karena menggunakan narkoba. Namun pakar penerbangan juga mengatakan Lion Air telah meningkatkan keamanannya dalam beberapa tahun terakhir. Bulan Juni 2018, sebuah daftar hitam Uni Eropa dari maskapai Indonesia dicabut setelah lebih dari satu dekade kekhawatiran keamanan. Amerika Serikat mencabut larangannya pada tahun 2016. Bahkan ketika manajemen mengatakan keselamatan pesawat adalah prioritas, tekanan tetap diberikan untuk menjaga operasional penerbangan, seorang pilot veteran Lion Air yang juga bekerja sebagai pelatih mengatakan. Jam kerja mereka bisa brutal, hingga 22 jam bertugas, menurut pilot yang bekerja untuk maskapai tersebut. Ketika diperluas, Lion Air Group mengakumulasi pengaruh politik yang signifikan. Salah satu pendiri perusahaan, Rusdi Kirana, adalah wakil ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendukung Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo.

 Pilot Lion Air yang lama dan saat ini mengeluhkan tentang perjanjian kerja yang memperlakukan mereka sebagai pekerja sementara, bahkan ketika mereka dipaksa untuk membayar denda yang berat jika mereka meninggalkan perusahaan setelah bertahun-tahun. Dua tahun lalu, 18 pilot Lion Air diberhentikan setelah mereka mencoba mengatur pemogokan dan persatuan pekerja. Setelah pemecatan mereka, para pilot menggugat Lion Air agar memberikan mereka pesangon dan tunjangan lainnya, tetapi sembilan pilot lainnya sekarang dipenjara karena dituduh memalsukan dokumen untuk melanggar kontrak mereka. “Kontrak semacam ini telah memaksa pilot untuk bekerja dalam kondisi moral rendah,” kata Hasan Basri, salah satu dari 18 pilot yang dipecat. “Menurut saya, pemeliharaannya buruk,” tambah Hasan, seorang navigator berpengalaman yang sekarang terbang untuk maskapai lain. “Tekanan dari kondisi kerja yang buruk tidak hanya dialami oleh kru penerbangan tetapi juga oleh teknisi.”

2.4 Apakah kendala keterbatasan berbahasa dapat menjadi kecelakaan Pesawat?

Mereka yang berkecimpung dalam dunia aviasi terutama para penerbang dan petugas menara ATC diharuskan mempelajari dasar-dasar Bahasa Inggris, terutama frasalogi, agar dapat berkomunikasi dengan efektif dan tepat. Hal itu juga sangat membantu mereka berjibaku dengan manual, dokumentasi pesawat terbang, regulasi, dan yang lainnya. Namun penggunaan Bahasa Inggris kerap menjadi kendala di dunia aviasi terutama bagi mereka yang bukan berasal dari negara dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama, yang digunakan dalam keseharian. Seiring pertumbuhan lalu-lintas udara, komunikasi antara pilot dan ATC melalui transmisi radio makin menyisakan ruang bagi masalah dalam apek ini. 
Bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa resmi dunia penerbangan melalui kesepakatan konvensi bersejarah saat Perang Dunia II berkecamuk, The Chicago Convention, pada tanggal 1 November 1944. Melalui inisiatif Inggris, pemerintah AS mengundang 55 negara sekutu dan negara netral (dalam perspektif Perang Dunia II) untuk datang ke Chicago dalam merumuskan sejumlah standarisasi dalam dunia penerbangan sipil. Konvensi tersebut juga menjadi momen lahirnya ICAO (International Civil Aviation Organization).
Konvensi yang pada akhirnya dihadiri oleh 52 negara tersebut melihat bahasa sebagai salah satu aspek yang mendesak untuk dikaji. Akhirnya disepakatilah Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dunia penerbangan sipil berdasarkan konsekuensi logis, yaitu dikarenakan negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi seperti AS dan Inggris mendominasi rancangan, pembuatan dan pengoperasian pesawat-pesawat di dunia pada waktu itu. Hal ini juga akan menekan kesalahpahaman dan kebingungan dalam berkomunikasi dalam operasional penerbangan.
Namun pemahaman dan kemampuan dalam berbahasa Inggris yang baik pun masih menyisakan ruang bagi sejumlah masalah, yaitu perbedaan aksen. Aksen sendiri adalah karakteristik komunikasi verbal yang dipengaruhi oleh budaya dalam suatu komunitas tertentu. Inggris Raya, Australia, Amerika Utara, India dan Singapura merupakan sebagian negara yang menetapkan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, atau salah satu dari bahasa resmi mereka. Namun aksen antara satu dan lainnya sangatlah berbeda. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah masalah serius seperti kebingungan dan kegagalan komunikasi dalam operasional penerbangan, yang tak jarang berakibat fatal.
Salah satu contohnya adalah peristiwa jatuhnya sebuah pesawat kargo Boeing 747-200 milik FedEx yang beroperasi menggunakan nama Flying Tiger Flight 66 dari Singapura ke Kuala Lumpur pada tanggal 19 Februari, 1989. ATC menginstruksikan pilot untuk menurunkan ketinggian dengan mengatakan “descend two four zero zero”, namun pilot memahaminya berbeda dan membalas dengan “OK, four zero zero”. Petugas di menara kendali tidak menyadari kesalahan komunikasi tersebut karena petugas menara kendali tidak menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama keseharian, menurut laporan resmi penyelidikan oleh pihak berwenang. Dalam percakapan tersebut, “two” di artikan sebagai “to” (menuju/ke). Seluruh empat awak pesawat meninggal dunia. Kecelakaan ini menjadi sebab digunakannya fiturescape maneuver pada sistem Ground Proxomity Warning System (GPWS).
Salah satunya adalah tragedi terburuk dalam sejarah penerbangan di mana dua pesawat bertabrakan di landasan pacu pada tanggal 27 Maret 1977 yang melibatkan pesawat Pan Am Flight 1736 dan KLM Flight 4805 di Tenerife – Spanyol. Para pihak terlibat dalam kecelakaan yang menelan 583 jiwa tersebut sebenarnya menguasai Bahasa Inggris dengan baik, termasuk pilot yang berasal dari Belanda (KLM) dan petugas ATC dari Spanyol. Namun Bahasa Inggris bukanlah bahasa utama keduanya sehingga kesalahpahaman dan asumsi yang salah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan selain dari beberapa faktor lainnya.
Dalam peristiwa tersebut, Captain pilot dari KLM 4805 dan petugas ATC memahami frasa “takeoff” dengan maksud yang berbeda. Berdasarkan cockpit voice recorder, Captain KLM berasumsi dirinya telah diizinkan untuk takeoff, sementara petugas menara kendali Tenerife bermaksud meminta pesawat tersebut untuk menunggu izin lepas landas. Dari situlah instruksi “takeoff” pada saat ini hanya boleh digunakan ketika pesawat benar-benar aman untuk lepas landas.
Tak ubahnya seperti insiden jatuhnya pesawat Boeing 707-321B Avianca Flight 52 di New York pada bulan Januari 1990. Saat itu cuaca berkabut dan Avianca Flight 52 diharuskan melakukan hold pattern selama satu jam karena jarak pandang yang minim di atas New York. Kemudian pilot Avianca Flight 52 memberitahu menara kendali di JFK International bahwa mereka membutuhkan “prioritas untuk mendarat” (priority landing). Namun petugas ATC tidak menangkap urgensi terminologi “priority landing” yang digunakan. Akhirnya pesawat kehabisan bahan bakar dan jatuh di sebuah desa bernama Cove Neck di Long Island, New York.
Pihak otoritas kemudian melaporkan bahwa salah satu faktor penyebab peristiwa di atas adalah penggunaan terminologi yang salah. Terminologi yang lebih tepat untuk digunakan bagi pilot Avianca Flight 52 seharusnya adalah “May Day”, “Pan Pan Pan”, dan “Emergency”. Menurut National Transportation Safety Board, para pilot dengan keterbatasan perbehendaraan kata dalam Bahasa Inggris cenderung menggunakan “vocabulary” yang mereka ketahui.
Enam tahun kemudian, sebuah Boeing 747 milik Saudi Arabian Airlines dan sebuah Ilyushin I-76 milik Kazakhstan Airline bertabrakan di udara pada tanggal 12 November 1996 di India. 349 jiwa meninggal dunia dalam peristiwa mid-air collision terburuk sepanjang sejarah tersebut. Berdasarkan laporan penyelidikan pihak otoritas India, penyebab utama dari tabrakan tersebut adalah kesalahan awak Kazakhstan Airlines Flight 1907 dalam mengikuti instruksi ATC selain dari terbatasnya kemampuan awak Kazakhstan Airlines dalam berbahasa Inggris sehingga berbuntut kesalahan dalam menegksekusi prosedur operasional.
Paska tragedi tersebut, ICAO menyusun program PRICESG, Proficiency Requirements in Common English Study Group, yang melibatkan pilot, petugas menara kendali, dan para praktisi keselamatan dalam dunia penerbangan. Standar yang dibentuk ICAO ini efektik diaplikasikan pada bulan Maret 2008.
Tipe-tipe komunikasi dalam dunia penerbangan meliputi komunikasi verbal antar sesama awak pesawat, bahasa tubuh, komunikasi tertulis (manual, SOP, checklist), grafik, dan komunikasi antara sistem komputer dan pesawat, terutama di pesawat-pesawat modern. Adapun kendala komunikasi yang mungkin ditemukan adalah, pemahaman konteks, jarak, gangguan pendengaran/pengelihatan/berbicara, kelelahan dan faktor fisik lainnya. Selain itu, kendala semantik yang mungkin terjadi adalah aksen, idiom, ambiguitas, nada suara dan istilah teknis.

BAB III

PENUTUP


3.1     SIMPULAN
Pesawat Boeing 737-8 MAX dengan nomor registrasi PK-LQP yang digunakan maskapai Lion Air tidak layak terbang. Pesawat dengan nomor penerbangan JT 610 itu mengalami kecelakaan dan jatuh Perairan Karawang, Jawa Barat.

Bahkan, KNKT menyatakan pesawat tidak layak terbang sejak satu hari sebelum terjadinya kecelakaan, di mana pada saat itu pesawat tersebut melayani rute penerbangan Denpasar Bali–Jakarta. Hasil investigasi KNKT ini sekaligus menepis pernyataan pihak maskapai Lion Air yang mengklaim pesawat itu layak terbang saat melayani rute Jakarta – Pangkal Pinang. 
Dalam pemaparan laporan awal hasil investigasi hari ini, KNKT memberikan dua rekomendasi kepada Lion Air. Pertama, pihak maskapai diminta agar menjamin implementasi dari Operation Manual part A subchapter 1.4.2 dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan dan untuk menjamin pilot dapat mengambil keputusan dalam melakukan penerbangan. Kedua, Lion Air diminta menjamin semua dokumen operasional diisi dan didokumentasikan secara tepat.
3.2.      SARAN
3.2.1. Agar kejadian ini tidak terjadi lagi pada masa depan, kita harus mendorong Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebagai regulator untuk mengoptimalkan pelaksanaan ramp check (pemeriksaan kelaikan pesawat) sebelum terbang secara rutin. Faktor penting lainnya yang menurut Bamsoet bisa mencegah kecelakaan pesawat adalah mendorong Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk selalu menginformasikan kondisi cuaca terkini kepada Air Traffic Control (ATC) dan pilot pesawat. 
3.2.2. Perlunya peningkatan keakuratan kerja petugas ATC sebelum bekerja agar tidak terjadi kelalaian ataupun miss communication terhadap pilot. Mungkin petugas ATC harus lebih jeli dalam hal pembuktian siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat yang terjadi, apakah benar dari pihak maskapai itu sendiri, atau dari pihak petugas ATC nya, atau mungkin dari pilot yang lalai. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pihak- pihak yang telah lalai sehingga dapat mengurangi jumlah kecelakaan pesawat yang terjadi. Apabila petugas ATC melakukan kelalaian dalam pekerjaannya, maka petugas tersebut haruslah bertanggung jawab atas kelalaiannya.
3.2.3. Menambah lagi fasilitas navigasi udara untuk penyebaran informasi cuaca, untuk pengiriman sinyal, untuk radio penentu arah, atau radio pada komunikasi bukan elektris, dan setiap struktur atau mekanisme lain yang mempunyai peran sejenis sebagai petunjuk atau pemanduan bagi penerbangan di udara, atau bagi pesawat udara yang sedang mendarat atau lepas landas. Ini merupakan hal yang sangat penting bagi ATC untuk diinformasikan terhadap pilot.

DAFTAR PUSTAKA